Sellyna Nanda Triwardani, S.H.
Guna mempermudah dalam mengidentifikasi suatu perbuatan suap yang mana sering kerap tejadi kebingungan dalam membedakan apakah perbuatan tersebut merupakan suap aktif atau suap pasif, maka penulis akan menguraikan perbedaan tersebut secara singkat untuk mempermudah membedakan kedua jenis suap tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Suap merupakan pemberian dalam bentuk uang atau uang sogok kepada Pegawai Negeri.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) Suap terbagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu:
- Suap Aktif
- Suap Pasif
Cara mudah untuk membedakan kedua jenis suap tersebut yaitu:
Suap Aktif
Suap Aktif terdapat pada Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor yaitu dengan ditujukan agar pegawai negeri berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya, sehingga rumusan Pasal 5 ayat (1) ini tidak perlu membuktikan adanya maksud menggerakan, tetapi cukup dengan membuktikan adanya perbuatan memberikan sesuatu atau menjanjikan sesuatu dengan maksud bahwa pemberian tersebut yakni supaya pegawai negeri berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya.
Rumusan pasal tersebut memuat 3 (tiga) bentuk tindak pidana korupsi suap yakni:
Tindak Pidana Penyuapan yang Pertama
terdapat pada Pasal 5 ayat (1) huruf a, untuk pemenuhan unsur Pasal 5 ayat (1) huruf a itu sendiri yaitu “memberi / menjanjikaan sesuatu dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya”.
Tindak Pidana Penyuapan Yang Kedua
terdapat pada Pasal 5 ayat (1) huruf b, yang pemenuhannya pada unsur “memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.”
Perbedaan pemenuhan pada bentuk pertama dan kedua yakni, bentuk pertama tindak pidana suap dapat terpenuhi tanpa diperlukan pegawai negeri itu telah berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Akan tetapi bentuk kedua tindak pidana suap akan terpenuhi apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara telah berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.[2]
Sehingga pada suap aktif atau Pasal 5 ayat (1) tidak diperlukan nya syarat pegawai negeri itu mempunyai wewenang untuk melakukan sesuatu seperti yang diharapkan oleh si pemberi suap, akan tetapi sudah cukup jika karena jabatan Pegawai negeri tersebut memberikan kemungkinan untuk dapat melakukan perbuatan tersebut.
Suap Pasif
Suap Pasif merupakan Tindak Pidana Penyuapan Ketiga yang terdapat pada Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor yaitu unsur “pegawai negeri atau penyelenggara negara, menerima pemberian atau menerima janji berupa sesuatu yang diberikan atau sesuatu yang dijanjikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b.”
Tindak pidana penyuapan bentuk ketiga ini tidak lagi masuk dalam pengertian suap aktif, melainkan masuk pada jenis suap pasif yang mana pegawai negeri atau penyelenggara negara telah menerima pemberian atau janji dari si pemberi suap dikarenakan memiliki jabatan yang memungkinkan untuk memenuhi dilakukannya perbuatan yang diinginkan oleh Pemberi suap walaupun jabatan tersebut bertentangan dengan kewajibannya.
Sehingga perbedaan suap aktif dan suap pasif yaitu:
Suap aktif dapat berdiri sendiri tanpa terjadinya penerimaan suap, yaitu apabila dalam pemberian sesuatu dari si pemberi suap ditolak atau tidak diterima oleh si penerima suap (pegawai negeri) maka tindak pidana suap telah terjadi sempurna.
Suap pasif tentunya harus bergantung pada terjadinya tindak pidana suap, apabila tidak terjadinya pemberian suap maka penerimaan suap tidak terjadi sehingga hal tersebut dikatakan sebagai suap pasif.
Suap Aktif | Suap Pasif |
Pasal 5 ayat (1) | Pasal 5 ayat (2) |
Pemberi Suap | Penerima Suap |
Refrensi:
- Undang No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali Pers, 2016
- Wiyono, S.H., Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), Jakarta, Sinar Grafika, 2012