Ade Syamsul Falah, S.H., M.H.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut “PKPU”) merupakan sebuah langkah hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut “UU 37/2004”) yang dapat diajukan oleh Kreditor maupun Debitor yang bertujuan untuk mengatur ulang jadwal pembayaran utang sehingga diharapkan debitor tidak jatuh pada keadaan pailit.
Sebagaimana diungkapkan oleh Munir Fuady, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah legal moratorium merupakan sebuah lembaga yang memiliki dasar hukum yang berasal dari Undang-Undang yang keputusannya diberikan oleh Pengadilan Niaga guna memberikan kesempatan kepada debitor untuk merumuskan secara bersama-sama dengan kreditor-kreditornya tentang tata cara atau mekanisme pelunasan utangnya secara sebagian atau keseluruhan. Sejalan dengan itu, Kartini Muljadi menyampaikan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah salahsatu instrumen yang diberikan kepada Debitor yang dimaksudkan untuk Debitor mengajukan rencana perdamaian kepada para kreditornya guna melunasi utang-utangnya dengan cara menegoisasikan penataan ulang utang-utangnya atau restrukturisasi utang.
Langkah hukum PKPU pada mulanya dianggap efektif dikarenakan tidak mengenal upaya hukum, sebagaimana ketentuan UU 37/2004 Pasal 235 ayat (1) dan 293 ayat (1)
Pasal 235 ayat (1)
“(1) Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun”
Pasal 293 ayat (1)
“(1) Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab II ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”
Namun, sejak adanya permohonan atas Pasal 235 ayat (1) dan 293 ayat (1) UU 37/2004 yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 23/PUU-XIX/2021, terdapat perubahan norma bahwa PKPU yang dalam prosesnya diajukan oleh Kreditor dan rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh para kreditornya maka dapat diajukan Upaya hukum kasasi oleh debitor.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya mengungkapkan bahwa Permohonan PKPU dalam UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang (UU 4/1998) yang menjadi cikal bakal UU 37/2004 mulanya hanya memberikan hak untuk mengajukan PKPU kepada Debitor dengan alasan debitor tidak dapat atau memperkirakan bahwa debitor tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Tetapi pada UU 37/2004 pada pasal 222 ayat (1) permohonan PKPU tidak hanya diajukan oleh Debitor, Kreditor juga dapat mengajukan permohonan PKPU kepada Debitor. Sehingga menurut Mahkamah Konstitusi hal demikian memunculkan persoalan karena adanya ketidaksesuaian antara tujuan permohonan PKPU yang semula merupakan instrumen bagi debitor dalam menghindari adanya kepailitan, namun pada kenyataannya akibat pailit tersebut tidak dapat dihindari apabila permohonan PKPU diajukan oleh Kreditor dan tidak diperoleh adanya perdamaian.
Masih menurut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya, bahwa secara filosofis permohonan PKPU secara natural awalnya hanya menjadi hak dari Debitor karena yang memahami kondisi dan kemampuan untuk membayar utangnya adalah debitor itu sendiri. Tetapi majelis juga melihat secara doktriner bahwa diberikannya hak untuk mengajukan permohonan PKPU kepada Kreditor adalah bentuk penerapan dari asas keseimbangan dan asas keadilan. Majelis melihat bahwa ini merupakan bentuk niat baik dari kreditor agar debitor tidak dalam keadaan yang semakin sulit dalam menyelesaikan utang-utangnya, dengan demikian niat baik dari kreditor seharusnya tidak boleh dicederai oleh tujuan lain yang justru menghadapkan debitor dalam posisi sulit yaitu dengan kehilangan kesempatan untuk melanjutkan kelangsungan usaha dan berada dalam keadaan pailit.
Sehingga Mahkamah Konstitusi mengabulkan Sebagian permohonan yang diajukan oleh Pemohon. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan dari Pemohon bahwa Upaya hukum yang dapat diajukan adalah kasasi, tetapi untuk Upaya hukum Peninjauan Kembali tidak dikabulkan oleh Majelis hakim.
Pengaturan teknis yang menjadi tindak lanjut daripada putusan mahkamah konstitusi tersebut diatur pada surat edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 pada sub judul Perdata Khusus huruf a nomor 3 disebutkan bahwa “Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh kreditor yang rencana perdamaiannya ditolak oleh kreditor, dapat diajukan Upaya hukum kasasi dikabulkan maka amarnya membatalkan putusan pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri ….. dan menyatakan debitor tidak dalam keadaan pailit”.
Meskipun pada SEMA 1/2022 telah mengatur mengenai bunyi amar ketika Upaya hukum dikabulkan, tetapi menurut penulis tidak cukup mengcover mengenai Upaya hukum tersebut karena posisi debitor menjadi tidak jelas, apakah Kembali pada keadaan PKPU atau berada dalam kondisi sebelum diajukan PKPU.
Dapat disimpulkan bahwa setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang semula tidak terbuka Upaya hukum, dapat diajukan Upaya hukum yaitu kasasi dengan syarat Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Kreditor dan Rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitor ditolak oleh para kreditornya.
Refrensi:
- Munir Fuady. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017)
- Kartini Muljadi, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang serta Dampak Hukumnya. Dalam Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang, Benny Ponto (ed), Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang. (Bandung: Alumni, 2001)
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021
- Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2022 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.